Sabtu, 12 November 2016

MAKALAH HADITS DARI SISI KUANTITASNYA




Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Yang di ampu oleh Bapak Abdul Jalil, M. Hi

disusun oleh: 

Alex Priyanto
(20160703020023)


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PAMEKASAN
2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
          Hadits merupakan sumber yang kedua setelah al-Qur’an untuk memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam al-Quran akan dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits. Karena pada dasarnya, hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah SAW.
          Namun karena pada zaman Nabi tidak diperbolehkan menulis selain ayat-ayat al-Qur’an dan juga begitu banyak hadits yang dikhawatirkan merupakan hadits palsu, maka bermunculanlah penelitian-penelitia­n tentang kajian ilmu hadits. Salah satunya adalah melihat hadits dari banyak sedikitnya orang yang meriwayatkanya.
          Kita sebagai seorang muslim tidak boleh meyakini bahwa semua hadits adalah shahih dan tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka, dalam menentukan status suatu hadits dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Berikut akan dibahas pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2.      Bagaimana pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
3.      Apa yang dimaksud dengan hadits mutawatir dan hadits ahad?
4.      Bagaimana syarat dan pengklasifikasian dari keduanya, yakni hadits mutawatir dan ahad?
5.      Apa yang dimaksud dengan hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits gharib?

C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Mengetahui bagaimana hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya.
2.      Mengetahui bagaimana dan apa saja yang termasuk dalam pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya.
3.      Mengetahui apa yang dimaksud hadits mutawatir dan hadits ahad.
4.      Mengetahui syarat dan pengklasifikasian hadits mutawatir dan hadits ahad.
5.      Mengetahui apa yang dimaksud hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits gharib.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya
          Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
          Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri , tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jasashah (305-370 H). Adapun ulama golongan kedua, diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulam kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ahad. Itulah sebabnya mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu, mutawatir dan ahad.
          Dan kami sebagai pemakalah akan menyajikan pendapat kedua dari para ulama yang membagi menjadi dua bagian, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

B.     Hadits Mutawatir
a.       Pengertian Hadits Mutawatir
          Mutawatir, menurut bahasa, adalah isim fa’il musytaq dari ­At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1]
          Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah,
هُوَ خَبَرٌ عَنْ مَحْسُوْ سٍ رَوَاهُ عَدَدٌجَمٌّ يُخِبُ فِى الْعَادَةِ إِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ .
Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.[2]
          Sedangkan menurut terminologi lain mutawatir dapat diartikan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta.
Berikut menurut beberapa pendapat :
1)      Menurut Al-Baghdadi
          Hadist mutawatir adalah suatu hadist yang di riwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.
2)      Menurut Ibn Shalah
          Hadist mutawatir adalah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya.[3]
b.      Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Berikut adalah syarat-syarat hadits mutawatir:
1)      Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[4]
2)      Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian jumlahnya akan relatif, tidak ada batas tertentu. Munurut Abu-Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashhab Asy-Syafi’i menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.[5]
3)      Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.[6]
c.       Klasifikasi Hadits Mutawatir
1)      Hadits Mutawatir Lafzhi
          Hadits mutawatir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat satu dan lainnya,[7] yakni:
مَااِتَّفَقَتْ أَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا/هُوَمَا تَوَا تَرَلَفْظُهُ وَ فِيْ مَعْنَاهُ .
Hadits yang samabunyi lafazh, hukum, dan maknanya.
Contoh hadits mutawatir lafzhi adalah,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدً اَفْلَيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَارِ . (رواه البخارى)
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R. Bukhori).
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadits, yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Tabrani, dan al-Hakim.[8]


2)      Hadits Mutawatir Ma’nawi
          Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat yang lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits,
مَا اخْتَلَفُوْا فِى لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيٍّ .
Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah,
كَانَ النَّبِيُّ صَّلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فَى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ . (رواه البخارى)
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa belia, kecuali dalam sholat istisqa’, dan beliau mengangkat kedua tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R. Bukhari).
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, lebih dari 100 hadits.[9]
3)      Hadits Mutawatir ‘Amali
          Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.[10]
d.      Kitab-kitab tentang Hadits-hadits Mutawatir
          Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
1)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2)      Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasangan dari kitab diatas.
3)      Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4)      Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.[11]

C.    Hadits Ahad
a.       Pengertian Hadits Ahad
          Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits berikut ini.
هُوَ مَالاَ يَنْتَهِيْ إِلَى التَّوَاتُرْ .
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
مَالَمْ تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوِاثْنَيْنِ أَوْثَلَا ثَةً أَوْأَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةً إِلَى غَيْرِذَالِكَ مِنَ الْأَعْدَادِلَّتِيْ لَا تُشْعِرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فِيْ خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ .
Hadits yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadits itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam hadits mutawatir.[12]
b.      Klasifikasi Hadits Ahad
          Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqoh. yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.
1.      Hadits Masyhur
a)      Pengertian hadits masyhur
          Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu suatu yang sudah tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah, hadits masyhur adalah,
مَارَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ ـ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ ـ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ .
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih - pada setiap thabaqah – tidak mencapai derajat mutawatir.[13]
b)      Klasifikasi hadits masyhur
          Istilah ‘masyhur’ yang diterapkan pada suatu hadits kadang-kadang bukan hanya untuk memberikan sifat-sifat hadits menurut ketetapan diatas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat ramai. Dari segi ini, hadits masyhur terbagi kepada:
·         ­Masyhur di kalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
·         Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadits saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
·         Masyhur di kalangan masyarakat umum
c)      Kitab-kitab yang berisi hadits masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya Ibnu Daiba’ As-Syaibani.
2.      Hadits ‘Aziz
         Secara istilah, hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya. Atau bisa diartikan bahwa hadits ‘aziz ini ialah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
3.      Hadits Gharib
         Adapun hadits gharib secara istilah, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi. Dalam pengertian lain, hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan.
         Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu dapat mengenai orangnya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri.

D.    Argumentasi Kehujjahan Hadits Ahad (Imam Syafi’i)
          Menurut Imam Syafi’i hadis ahad atau hadits khashshah dalam istilah beliau, dapat dijadikan hujjah jika memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
1)      Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada Nabi saw
2)      Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan agamanya (baik agamanya), ia harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan riwayat dan khabar.
3)      Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan sama dengan huruf yang didengarnya.
4)      Tidak  meriwayatkan  bi  al-ma’na , periwayat  tersebut  tidak  mengetahui  pergeseran  makna haditsnya, sehingga orang tersebut tidak mengetahui barangkali ia mengalihkan halal kepada haram. Apabila ia menyampaikan hadits sesuai hurufnya, maka tidak ada lagi alasan kekhawatiran mengubah hadits.
5)      Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya (apabila ia meriwayatkan dari hafalannya) dan akurat catatannya (apabila ia meriwayatkan dari kitabnya). Apabila ia menghafal satu hadis tidak berbeda dengan hadis yang telah diriwayatkan orang lain, yaitu orang yang lebih kuat hafalannya.
6)      Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis yang menuturkan dari orang yang ditemuinya tentang hal yang tidak pernah didengarnya, serta ketika meriwayatkan sesuatu dari Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya.[14]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1)      Mengetahui hadits dari segi kuantitasnya sangatlah penting untuk lebih dapat mempertimbangkan status suatu hadits.
2)      Hadits dilihat dari segi kuantitasnya di bagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
3)      Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
4)      Bagi siapa yang telah menyakini akan kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya.
5)      Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi menjadi tiga bagian yaitu hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib.
6)      Hadits Masyhur Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir.
7)      Hadits Aziz adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
8)      Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.
9)      Hadits ahad (baik masyhur, ‘aziz, maupun gharib) dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.

B.     Saran
            Kami membuat makalah ini untuk  pembelajaran bersama. Kami mengambil dari berbagai sumber, jadi apabila pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan, maka kami sarankan untuk mencari referensi yang lebih baik. Apabila pembaca merasa ada kekurangan dapat membaca buku yang menjadi referensi secara lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Ipin. (2014). Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya. Diakses pada 30 Oktober 2016 di http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html
Mustaqim, Muhamad. (2015). Kehujjahan Hadits Ahad. Diakses pada 30 Oktober 2016 di http://islam6236.blogspot.co.id/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
Solahudin, M. Agus & Suyadi, Agus. (2015). Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia



[1] Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musththalah Al-Hadits, t.t. hlm. 19, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 129.
[2]  Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 120, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[3]  Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, (Paramadina: Jakarta, 2000), hlm. 169, diakses dari http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html, pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 4.20.
[4]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits, (Al-Maarif: Bandung, 1974) hlm. 79, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[5]  Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 120, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[6]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits, (Al-Maarif: Bandung, 1974) hlm. 80, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[7]  Ibid., hlm. 81.
[8]  Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 121, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 131.
[9]    Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 121, Ibid., 132.
[10]   Ipin Arifin, Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya, diakses dari http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html, pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 4.20.
[11] M. Agus Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 133.
[12]   Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 124, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 133.
[13]   Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musththalah Al-Hadits, t.t. hlm. 22, dalam buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 134.
[14]   Muhamad Mustaqim, Kehujjahan Hadits Ahad, diakses dari http://islam6236.blogspot.co.id/ 2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 18.35.