Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Yang
di ampu oleh Bapak Abdul Jalil, M. Hi
disusun oleh:
Alex Priyanto
(20160703020023)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PAMEKASAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits merupakan sumber yang
kedua setelah al-Qur’an untuk memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia.
Apa yang tidak diuraikan dalam al-Quran akan dijelaskan secara gamblang dalam
sebuah hadits. Karena pada dasarnya, hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan
taqrir Rasulullah SAW.
Namun karena pada zaman Nabi
tidak diperbolehkan menulis selain ayat-ayat al-Qur’an dan juga begitu banyak
hadits yang dikhawatirkan merupakan hadits palsu, maka bermunculanlah
penelitian-penelitian tentang kajian ilmu hadits. Salah satunya adalah melihat
hadits dari banyak sedikitnya orang yang meriwayatkanya.
Kita sebagai seorang muslim
tidak boleh meyakini bahwa semua hadits adalah shahih dan tidak benar bila
menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka, dalam menentukan status suatu
hadits dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui banyak sedikitnya orang yang
meriwayatkan hadits tersebut. Berikut akan dibahas pembagian hadits berdasarkan
kuantitasnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2.
Bagaimana
pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
3.
Apa yang dimaksud dengan hadits mutawatir dan hadits ahad?
4.
Bagaimana syarat dan pengklasifikasian dari keduanya, yakni hadits mutawatir
dan ahad?
5.
Apa yang dimaksud dengan hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits gharib?
C.
Tujuan
dan Manfaat
1.
Mengetahui bagaimana hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya.
2.
Mengetahui bagaimana dan apa saja yang termasuk dalam pembagian hadits ditinjau
dari segi kuantitasnya.
3.
Mengetahui apa yang dimaksud hadits mutawatir dan hadits ahad.
4.
Mengetahui syarat dan pengklasifikasian hadits mutawatir dan hadits ahad.
5.
Mengetahui apa yang dimaksud hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits
gharib.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya
Para ulama
berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau
jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad,
dan ada juga yang membaginya menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits
ahad.
Ulama golongan pertama, yang
menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri , tidak termasuk bagian dari hadis
ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar
Al-Jasashah (305-370 H). Adapun ulama golongan kedua, diikuti oleh kebanyakan
ulama ushul dan ulam kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan
hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ahad. Itulah sebabnya
mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu, mutawatir dan ahad.
Dan kami sebagai pemakalah akan
menyajikan pendapat kedua dari para ulama yang membagi menjadi dua bagian,
yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
B.
Hadits Mutawatir
a.
Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa, adalah isim
fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1]
Adapun hadits mutawatir menurut
istilah ulama hadits adalah,
هُوَ خَبَرٌ
عَنْ مَحْسُوْ سٍ رَوَاهُ عَدَدٌجَمٌّ يُخِبُ فِى الْعَادَةِ إِحَالَةُ
اِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ .
Khabar yang didasarkan
pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat
mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.[2]
Sedangkan menurut terminologi
lain mutawatir dapat diartikan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang
menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta.
Berikut menurut
beberapa pendapat :
1) Menurut Al-Baghdadi
Hadist mutawatir adalah suatu hadist yang di riwayatkan
oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil
mendustakan kesaksiannya.
2) Menurut Ibn Shalah
Hadist mutawatir adalah suatu ungkapan tentang berita yang
diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya
dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad
sampai akhirnya.[3]
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Berikut adalah
syarat-syarat hadits mutawatir:
1) Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar
hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[4]
2) Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin
mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian jumlahnya akan relatif, tidak
ada batas tertentu. Munurut Abu-Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashhab
Asy-Syafi’i menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh
atau empat puluh orang.[5]
3) Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama
dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.[6]
c. Klasifikasi Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits mutawatir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat
satu dan lainnya,[7]
yakni:
مَااِتَّفَقَتْ
أَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا/هُوَمَا تَوَا تَرَلَفْظُهُ وَ فِيْ
مَعْنَاهُ .
Hadits yang samabunyi
lafazh, hukum, dan maknanya.
Contoh hadits mutawatir
lafzhi adalah,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدً اَفْلَيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَارِ . (رواه
البخارى)
Barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka. (H.R. Bukhori).
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan
oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut
diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadits
tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadits, yaitu Al-Bukhari, Muslim,
Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah,
Ath-Tabrani, dan al-Hakim.[8]
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang lafazh dan
maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat yang lainnya, tetapi
terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits,
مَا
اخْتَلَفُوْا فِى لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيٍّ .
Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat
diambil makna umum.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah,
كَانَ
النَّبِيُّ صَّلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ شَيْءٍ
مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فَى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى
بَيَاضُ إِبْطَيْهِ . (رواه البخارى)
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam
doa-doa belia, kecuali dalam sholat istisqa’, dan beliau mengangkat kedua
tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R. Bukhari).
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut
banyak sekali, lebih dari 100 hadits.[9]
3) Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian
diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai
sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya,
shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi
ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.[10]
d. Kitab-kitab tentang Hadits-hadits Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir
dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2) Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi,
ringkasangan dari kitab diatas.
3) Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits
Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.[11]
C. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai
pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak
pula sampai derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu
hadits berikut ini.
هُوَ مَالاَ
يَنْتَهِيْ إِلَى التَّوَاتُرْ .
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
مَالَمْ
تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاءٌ
كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوِاثْنَيْنِ أَوْثَلَا ثَةً أَوْأَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةً
إِلَى غَيْرِذَالِكَ مِنَ الْأَعْدَادِلَّتِيْ لَا تُشْعِرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ
دَخَلَ بِهَا فِيْ خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ .
Hadits yang tidak
sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits mutawatir, baik rawinya itu seorang,
dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak
memberi pengertian bahwa hadits itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam
hadits mutawatir.[12]
b. Klasifikasi Hadits Ahad
Para muhadditsin membagi
atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya
rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqoh. yaitu hadits masyhur,
hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.
1. Hadits Masyhur
a) Pengertian hadits masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah
muntasyir, yaitu suatu yang sudah tersebar, sudah populer. Adapun
menurut istilah, hadits masyhur adalah,
مَارَوَاهُ
ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ ـ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ ـ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
.
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih - pada setiap thabaqah
– tidak mencapai derajat mutawatir.[13]
b) Klasifikasi hadits masyhur
Istilah ‘masyhur’
yang diterapkan pada suatu hadits kadang-kadang bukan hanya untuk memberikan sifat-sifat
hadits menurut ketetapan diatas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu
hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang
mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat
ramai. Dari segi ini, hadits masyhur terbagi kepada:
·
Masyhur di
kalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang
umum).
·
Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di
kalangan ahli hadits saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
·
Masyhur di kalangan masyarakat umum
c) Kitab-kitab yang berisi hadits masyhur, antara lain Al-Maqasid
Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf
Al-Khafa’ wa Muzill Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas
min Al-Hadits, karya Ibnu Daiba’ As-Syaibani.
2. Hadits ‘Aziz
Secara istilah, hadits ‘aziz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan rawi tersebut terdapat
pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya. Atau bisa
diartikan bahwa hadits ‘aziz ini ialah hadits yang jumlah perowinya tidak
kurang dari dua.
3. Hadits Gharib
Adapun hadits gharib secara
istilah, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi. Dalam pengertian
lain, hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan.
Penyendirian rawi dalam
meriwayatkan hadits itu dapat mengenai orangnya, yakni tidak ada orang lain
yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri.
D. Argumentasi Kehujjahan Hadits Ahad (Imam Syafi’i)
Menurut Imam Syafi’i hadis
ahad atau hadits khashshah dalam istilah beliau, dapat dijadikan hujjah jika
memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
1) Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada Nabi saw
2) Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan agamanya (baik
agamanya), ia harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan riwayat
dan khabar.
3) Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan sama dengan
huruf yang didengarnya.
4) Tidak meriwayatkan bi al-ma’na
, periwayat tersebut tidak
mengetahui pergeseran makna haditsnya, sehingga orang tersebut
tidak mengetahui barangkali ia mengalihkan halal kepada haram. Apabila ia
menyampaikan hadits sesuai hurufnya, maka tidak ada lagi alasan kekhawatiran mengubah
hadits.
5) Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya (apabila ia meriwayatkan dari
hafalannya) dan akurat catatannya (apabila ia meriwayatkan dari kitabnya).
Apabila ia menghafal satu hadis tidak berbeda dengan hadis yang telah
diriwayatkan orang lain, yaitu orang yang lebih kuat hafalannya.
6) Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis yang menuturkan dari
orang yang ditemuinya tentang hal yang tidak pernah didengarnya, serta ketika
meriwayatkan sesuatu dari Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang
terpercaya.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Mengetahui hadits dari
segi kuantitasnya sangatlah penting untuk lebih dapat mempertimbangkan status
suatu hadits.
2)
Hadits dilihat dari
segi kuantitasnya di bagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
3)
Hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
4)
Bagi siapa yang telah
menyakini akan kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan sesuai dengan tuntutannya.
5)
Hadits ahad adalah
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi
menjadi tiga bagian yaitu hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib.
6)
Hadits Masyhur Adalah
hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada
batasan mutawatir.
7)
Hadits Aziz adalah
hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
8)
Hadits gharib adalah
hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.
9)
Hadits ahad (baik
masyhur, ‘aziz, maupun gharib) dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai
masalah selama memenuhi kriteria shahih.
B.
Saran
Kami
membuat makalah ini untuk pembelajaran
bersama. Kami mengambil dari berbagai sumber, jadi apabila pembaca menemukan
kesalahan dan kekurangan, maka kami sarankan untuk mencari referensi yang lebih
baik. Apabila pembaca merasa ada kekurangan dapat membaca buku yang menjadi
referensi secara lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Ipin. (2014). Hadits
Ditinjau dari Segi Kuantitasnya. Diakses pada 30 Oktober 2016 di
http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html
Mustaqim, Muhamad.
(2015). Kehujjahan Hadits Ahad. Diakses pada 30 Oktober 2016 di http://islam6236.blogspot.co.id/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
Solahudin, M. Agus
& Suyadi, Agus. (2015). Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia
[1] Mahmud
Ath-Thahhan, Taisir Musththalah Al-Hadits, t.t. hlm. 19, dalam buku Agus
Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung,
2015), hlm. 129.
[2]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian
Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 120, dalam
buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka
Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[3]
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran
Hadits, (Paramadina: Jakarta, 2000), hlm. 169, diakses dari http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html,
pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 4.20.
[4]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah
Al-Hadits, (Al-Maarif: Bandung, 1974) hlm. 79, dalam buku Agus Solahudin
& Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015),
hlm. 130.
[5]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian
Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 120, dalam
buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka
Setia: Bandung, 2015), hlm. 130.
[6]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah
Al-Hadits, (Al-Maarif: Bandung, 1974) hlm. 80, dalam buku Agus Solahudin
& Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015),
hlm. 130.
[7] Ibid., hlm. 81.
[8]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian
Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 121, dalam
buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka
Setia: Bandung, 2015), hlm. 131.
[9]
Endang Soetari, Ilmu Hadits:
Kajjian Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 121, Ibid.,
132.
[10]
Ipin Arifin, Hadits Ditinjau dari
Segi Kuantitasnya, diakses dari http://ipinarifin992.blogspot.co.id/2014/12/ulumul-hadits-makalah-hadits-ditinjau.html,
pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 4.20.
[11] M. Agus
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung,
2015), hlm. 133.
[12]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajjian
Riwayah & Dirayah, (Mimbar Pustaka: Bandung, 2005), hlm. 124, dalam
buku Agus Solahudin & Agus Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka
Setia: Bandung, 2015), hlm. 133.
[13]
Mahmud Ath-Thahhan, Taisir
Musththalah Al-Hadits, t.t. hlm. 22, dalam buku Agus Solahudin & Agus
Soyadi, Ulumul Hadits, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 2015), hlm. 134.
[14] Muhamad Mustaqim, Kehujjahan Hadits Ahad,
diakses dari http://islam6236.blogspot.co.id/ 2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
pada tanggal 30 Oktober 2016 pukul 18.35.